Rabu, 10 November 2010

Umat Katolik di Batavia (abad 17 dan 18)

Umat Katolik di Batavia (abad 17 dan 18)
 Cikal bakal umat Katolik di KAJ sudah mulai ada ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC, 1619-1799) berkuasa di Batavia. Pada masa itu banyak orang "Portugis hitam", yang menjadi tawanan VOC. Portugis hitam itu adalah sebutan untuk orang-orang India, Srilanka, Melayu yang telah menjadi Katolik. Mereka menerima nama Portugis dari wali baptisnya, dan memakai adat budaya Portugis dalam kehidupan keseharian.

Ketika VOC mengalahkan bangsa Portugis, orang-orang Portugis hitam ini juga ikut ditawan oleh VOC. Karena agama Protestan sangat kuat berpengaruh pada pemerintah Belanda maka kegiatan keagamaan orang Katolik sangat dipersulit. Banyak dari antara orang-orang Portugis hitam ini yang kemudian pindah ke agama Protestan, agar mereka dapat terbebas dari status tawanan. Mereka disebut
kaum mardijker. Tetapi tidak sedikit dari mereka yang dalam hati tetap Katolik dan melakukan ibadah Katolik secara sembunyi-sembunyi. Pun di antara para pegawai dan tentara VOC yang berasal dari Belgia, Jerman, dan Perancis banyak yang menjadi Katolik.

VOC sangat menghambat karya pelayanan para imam Katolik sehingga mereka melayani orang-orang Katolik secara sembunyi-sembunyi. Beruntunglah, dalam keadaan yang serba sulit di abad 18 itu, imam-imam Katolik dari pelbagai bangsa singgah di Batavia dan sempat melayani umat dengan resiko bila diketahui oleh pemerintah maka berat hukumannya. Pastor Egidius d'Abreu, SJ dibunuh di Kasteel Batavia (Maret 1624) pada jaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan misa kudus. Pastor Aleksander Rhodes, SJ dipaksa menyaksikan pembakaran salib dan alat-alat peribadatan, lalu diusir. Yoanes Kratz, seorang Austria juga terpaksa meninggalkan Batavia. Ia adalah seorang dermawan yang sangat membantu imam-imam Katolik. Ketika VOC mengetahui perbuatannya, usaha Kratz dipersulit.

Masa Prefektur Apostolik (1807-1842)
 Jaman keemasan VOC telah purna pada tahun 1799. Peta politik negeri Belanda pun berubah setelah kekuasaan beralih di bawah kendali Raja Louis Napoleon dari Perancis yang beragama Katolik. Ia adalah saudara dari Kaisar Napoleon I. Penguasa Batavia pada waktu itu Marsekal H.W. Daendels (1808-1811). Pergantian penguasa ini mengubah sikap penguasa kolonial terhadap orang Katolik. Imam-imam diijinkan untuk merayakan Misa Kudus secara terbuka. Pemerintah juga memberikan sebuah gereja Protestan di Gang Kenanga Utara untuk beribadat bagi orang Katolik berkebangsaan Belanda.

Saat itu, Revolusi Perancis sedang membakar daratan Eropa dengan semboyan "Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan". Atas persetujuan Gubernur Du Bus de Ghisignies, seorang bangsawan Belgia, pada tanggal 8 Mei 1807 Paus Pius VII mendirikan Prefektur Apostolik di Hindia Belanda, yang mencakup hampir seluruh wilayah Hindia Belanda. Prefek Apostolik pertama adalah Pastor Jacobus Nelissen Pr. Bahkan, Gubernur Du Bus de Ghisignies juga menghadiahkan tempat kediaman tentara dan wakil gubernur jenderal kepada Umat Katolik sebagai tempat ibadat (1830).

Hubungan Gereja Katolik dengan pemerintah mengalami pasang surut sejalan dengan situasi politik negeri Belanda. Salah paham pernah terjadi di jaman Mgr. Scholten. Berbagai tuduhan dan fitnah ditujukan kepada Gereja dan dirinya. Gereja pun merasa, negara terlalu ikut campur dalam urusan internal Gereja. Perselisihan dengan pemerintah untuk sementara dapat diatasi berkat campur tangan Tahta Suci bersama Raja Willem II.

Masa Vikariat Apostolik (1842-1961)
 Tanggal 20 September 1842 status Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik. Namun campur tangan pemerintah terhadap Gereja masih dirasakan. Mgr. Jacobus Grooff, Vikaris Apostolik pertama, diusir dari Hindia Belanda karena mensuspensi beberapa imamnya. Pada waktu itu, wewenang mengangkat dan memberhentikan imam ada di bawah gubernur jenderal. Tuduhan lain juga dialamatkan kepadanya, misalnya dianggap tidak toleran, tidak loyal kepada pemerintah, tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Atas perundingan negeri Belanda dan Vatikan tahun 1847, campur tangan urusan pemerintah terhadap Gereja dapat dihentikan.

Tahun 1848, Mgr. Vrancken (1848-1871) datang sebagai Vikaris Apostolik yang kedua. Dia datang bersama beberapa imam praja. Pada jaman Mgr. Vrancken tahun 1856 kongregasi suster Ursulin diundang untuk berkarya. Beliau juga berhasil mengundang pastor-pastor Jesuit yang mengambil alih paroki Surabaya.
Pada waktu itu, sebagian besar umat Katolik adalah orang Eropa dan baru pada tahun 1930-an umat Katolik dari orang pribumi dan Tionghoa mulai bertumbuh. Cakupan wilayah Vikariat Apostolik begitu luas, tetapi tenaga imam hanya sedikit. Seperti diketahui, selama hampir satu abad (1807-1902) semua umat Katolik di Hindia Belanda ada di bawah Prefek Apostolik dan atau Vikariat Apostolik. Kemudian, berangsur-angsur wilayah gerejani di luar Jawa dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia. Kemudian Malang, Surabaya, Bandung, Purwokerto, Semarang dipisahkan dan menjadi vikariat apostolik tersendiri. Maka sejak 1940 Vikariat Apostolik Batavia hanya meliputi KAJ dan Bogor sekarang ini.

Berikut ini nama-nama Vikaris Apostolik yang bertugas di Batavia dan beberapa peristiwa sejarah penting yang terjadi pada masanya:
Mgr. Jakobus Groff Pr (1842-1847)
Mgr. Petrus Maria Vranken Pr (1847-1874)
Mgr. AC Claessens Pr (1874-1893)
Mgr. Walterus Staal, SJ (1893-1897): Pendirian Perkumpulan Santo Vincentius.
Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen, SJ (1898-1923): Pembangunan Katedral, pembagian wilayah Nusantara menjadi beberapa Vikariat dan Prefektur, tarekat MSC, Kapusin, dan SVD masuk Nusantara, Suster CB berkarya di Batavia, mulai berdiri gerakan-gerakan politik bernafas Katolik.
Mgr. Antonius van Velsen, SJ (1924-1934): Yayasan Strada dibentuk di Jakarta, pembangunan banyak gereja, pembangunan seminari di Yogyakarta, Kolose Ignatius, dan Rumah Retret serta Novisiat Serikat Yesus di Girisonta, Ungaran. Wilayah Vikariat semakin sempit karena beberapa daerah telah dibentuk menjadi Prefektur Apostolik sendiri.
Mgr. Petrus Willekens, SJ (1934-1961): Masa ini Hindia Belanda dalam keadaan sulit karena penjajahan Jepang. Banyak pastor dan biarawan/wati Eropa ditahan oleh Jepang. Mgr. Willekens mendorong pendidikan untuk imam-imam pribumi.

Masa Keuskupan Agung (1961-sekarang)
 Berdasarkan keputusan Paus Yohanes XXIII pada tanggal 3 Januari 1961 status Vikariat Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung. Pada waktu itu yang menjadi Vikaris Apostolik di Batavia adalah Mgr. A. Djajasepoetra, SJ. Dengan perubahan status hirarki ini maka beliau menjadi Uskup Agung pertama di Jakarta.
Masa kepemimpinan Mgr. A. Djajasepoetra, SJ bersamaan dengan masa revolusi di Indonesia. Pada masa itu situasi politik Indonesia sedang bergejolak. Komunisme mulai menebarkan pengaruhnya di Indonesia lewat berbagai organisasi. Dan Gereja Katolik dengan tegas menolaknya. Di jaman Mgr. A. Djajasepoetra, SJ mulai dirintis berdirinya Universitas Katolik Atmajaya. Dulu universitas ini menggunakan bangunan sekolah St. Ursula, kemudian berangsur-angsur menempati areal Semanggi. Pada tahun 1970, dalam usia 76 tahun, Mgr. A. Djajasepoetra, SJ meletakkan jabatan Uskup karena usia telah menua.
Kepemimpinan berikutnya ada di pundak Mgr. Leo Soekoto, SJ. Beliau diangkat menjadi Uskup Agung Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1970. Pada masa itu Orde Baru sedang memimpin pemerintahan. Tetapi Gereja mempunyai keprihatinan sendiri: memerangi krisis spiritualitas, mengembangkan panggilan imamat, dan kehidupan keluarga. Dalam bidang politik, persoalan asas tunggal menjadi perhatian Gereja juga.
Pada masa Mgr. Leo ini impian KAJ untuk memiliki Seminari Menengah terpenuhi dengan berdirinya Seminari Menengah "Wacana Bhakti" di Pejaten, Jakarta Selatan. Pada masa beliau pula Sinode I KAJ digelar. Salah satu wujud konkret Sinode I KAJ adalah perhatian pada pelayanan pastoral untuk kelompok kategorial.
Setelah Mgr. Leo Soekoto, SJ meletakkan jabatan tanggal 10 November 1995, selama beberapa waktu tahta Uskup KAJ kosong. Pada tanggal 6 Desember 1995 Bapa Suci mengangkat Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ sebagai Uskup Agung Jakarta. Sebelumnya Bapak Kardinal adalah Uskup Agung Semarang. Pelantikan sebagai Uskup Agung Jakarta dilaksanakan pada 29 Juni 1996. Pada jaman kepemimpinan Kardinal, KAJ merayakan Yubelium Agung tahun 2000, Sinode II KAJ, dan Perayaan Syukur 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta.
Menjelang usia ke-75, Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ mengirimkan surat permohonan penguduran diri sebagai Uskup Agung Jakarta kepada Bapa Suci Paus Benediktus XVI. Untuk melancarkan proses transisi kepemimpinan penggembalaan umat di KAJ, pada tanggal 25 Juli 2009 Bapa Suci menunjuk Mgr. Ignatius Suharyo (saat itu Uskup Agung Semarang) sebagai Uskup Koajutor KAJ. Sebagai Uskup Koajutor, Mgr. Ignatius Suharyo akan menggantikan Bapak Kardinal sewaktu-waktu Bapa Suci mengabulkan permohonan pengunduran diri Bapak Kardinal.
Pada hari Selasa, 28 Juli 2010 pk. 12.00 waktu kota Roma atau pk. 17.00 waktu Indonesia Barat, Bapa Suci mengabulkan permohonan pengunduran diri Julius Kardinal Daarmaatmadja, SJ sebagai Uskup Agung Jakarta. Pada saat yang sama, Mgr. Iginatius Suharyo menggantikan Bapak Kardinal sebagai Uskup Agung Jakarta ke-14.

(Sumber: Adolf Heuken, SJ. Ensiklopedi Gereja. Jilid VIII. Sel-To. Edisi 4. Cipta Loka Caraka. Jakarta. 2005 ; Adolf Heuken, SJ. 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta. Cipta Loka Caraka. Jakarta. 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar